Taman Bunga Impian
Menceritakan seorang anak laki-laki yang memiliki impian pergi ke taman bunga bersama keluarganya
Taman Bunga impian
Taman tempatku berdiri saat ini sangat indah. Bunga bermekaran ditemani puluhan kupu-kupu. Dari kejauhan terdengar suara ibu dan ayah memanggilku dan aku berlari menghampirinya. Namun di tengah jalan aku terjatuh, kemudian ayah dan ibu menuju ke arahku dengan cemas. Aku tersenyum sambil menutup mataku.
"BANGUN, PEMALAS!!" Suara perempuan tua dari luar kamar.
Mimpi itu lagi. Aku mematikan alarm di jam samping kasurku dan segera keluar kamar agar ibu tidak marah lagi. Di belakang pintu aku terus mendengar obrolan ayah dan ibu. Tidak, tidak tepat disebut obrolan jika suaranya sangat kencang dan saling membentak. Aku mencoba menghiraukannya dan segera bersiap untuk sekolah.
Aku membuka tudung saji di meja makan, namun isinya hanya teko berisi air putih. “Hari ini juga, ya,” ucapku dalam hati. Sebelum aku benar-benar berangkat, aku ingat diberi roti oleh temanku kemarin dan bergegas membuka tasku dan mencarinya dan memakannya.
Obrolan keras orangtuaku masih belum berhenti, mereka membicarakan pekerjaan, lelah dan Wanita lain atau mabuk. Entahlah, aku tidak mendengarnya dengan jelas. Di suapan terakhirku, ibu melihat ke arahku dengan tatapan tajam seperti elang yang menemukan mangsanya.
“APA?! SUDAH SANA BERANGKAT!”
"Ya."
Seperti biasa, tidak ada ucapan hangat setiap aku pergi. Berjalan dengan tertunduk sambal mimikirkan besok akan seperti apa lagi sudah menjadi kebiasaanku.
“Apa sebaiknya aku akhiri saja?”
“Dito! Jarang, ya, kita ketemu di jalan.” Suara perempuan ini, suara yang sedikit bisa membuatku semangat untuk hari ini. Setidaknya hari ini aku bisa melakukan kegiatan seperti murid lainnya.
Dia adalah orang yang memberiku roti untuk sarapan hari ini. Dia mau menjadi temanku yang terlihat kacau begini. Itu juga salah satu alasan aku senang bertemu dengan perempuan Bernama Rasyi ini.
Perjalanan sekolah seperti biasanya, Rasyi membicarakan banyak hal mekipun Sebagian besar aku tidak mengerti. Dia bicara tentang kereta, fashion dan hal lainnya. Meski tidak mengerti, akan terus aku dengar daripada tidak bertemu dengannya sama sekali.
Bel masuk berbunyi dan pelajaran di mulai. Aku tidak sekelas dengan Rasyi, namun kami sering bertemu saat jam istirahat. Tempat biasanya adalah di bawah pohon dekat taman. Topik acak dan pelajaran terus menjadi bahan obrolan.
“Wah, kebetulan ketemu disini. Rasyi, lihat PR, dong.” Ditengah ketenangan itu, Rafael, preman sekolah datang mengganggu.
“Enak saja! Kerjakan sendiri!” Balas Rasyi dengan berani.
Rafael yang tersinggung dengan ucapannya menyuruh temannya, Revan dan Ghozi untuk mengacak-acak makanan dan bukunya. Aku sangat tidak berguna karena tidak membantunya, bahkan melihat wajah mereka saja tidak berani. Rasyi terus berusaha mempertahankannya, tapi tidak bisa karena kurang kekuatan. Rasyi mulai menangis, suaranya sampai ke telingaku. Mereka tertawa melihat Rasyi menangis.
“Cukup!” Aku memukul Rafael tanpa sadar. Rafael menatapku dan menarik bajuku kemudian membisikkan, “Kita lanjut pulang sekolah.”
Badanku seketika gemetar. Keringat mulai bercucuran. Tapi aku tidak bisa mundur sekarang, karena mereka bisa menemuiku lagi besok. Aku harus menyelesaikannya hari ini
Di gudang sekolah aku sudah ditunggu oleh mereka. Mereka duduk di kursi dan meja rusak di gudang itu sambil merokok. Aku yang sebelumnya ingin datang sendiri ditahan oleh Rasyi. Rasyi ingin ikut denganku meski tahu ini akan bahaya.
Aku melempar tas di punggungku. Mereka satu persatu mendekat. Semakin dekat langkah mereka, semakin takut juga diriku. Mereka memberikan syarat duel satu lawan satu. Orang yang maju duluan adalah Revan. Mereka menikmati duel ini.
Badanku sudah sakit semua, padahal baru satu orang. Tapi aku lengah, yang sebenarnya mereka incar bukan aku, melainkan Rasyi. Mereka memukulnya disaat aku di sibukkan dengan Revan. Aku yang tidak kuat melihatnya mengamuk. Revan dan Ghozi sudah tidak bisa bergerak karena pukulanku. Aku merasa diriku seram sekali, apa karena ayahku adalah preman?
Rafael yang menjadi lawan terakhirku pun tumbang, rasa marah yang ada dalam diriku belum sepenuhnya hilang. Aku duduk diatas badannya dan terus memukuli wajahnya. Darah mulai keluar dari wajah Rafael, Rasyi juga ketakutan melihatku terus memukuliku dan terus berteriak agar aku berhenti. Namun aku tidak mendengarkannya, aku seperti monster. Perkelahian ini baru berhenti saat guru datang melerai.
Dua hari setelahnya, orangtuaku di panggil ke sekolah akibat dari duel itu. Aku sudah siap dengan ini, karena itulah saat dirumah aku tidak kaget lagi. Pukulan dan tendangan dilayangkan padaku karena kejadian itu.
“Buat apa? JADI JAGOAN? MAU DIBILANG KEREN SAMA PEREMPUAN?! Seharusnya ibu nggak lahirin kamu kalau akhirnya begini.” Teriak ibu bersamaan dengan pukulan.
“Ibu, minta uang.” Suara ayah yang terdengar sebelum pintu rumah terbuka.
“HAH? YANG KEMARIN SUDAH HABIS? DASAR PEMABUK!”
“MEMANGNYA SALAH? SUDAH CEPAT MANA UANGNYA! HARI INI PASTI MENANG!”
Mereka mulai ribut lagi. Aku berlari ke sungai yang cukup jauh dari rumah. Aku bertemu dengan Rasyi disana, aku berpikir, “Betapa beruntungnya aku.” Kulihat tidak ada ceria di wajahnya seperti biasanya, hari ini dia cemas dan takut. Apa mungkin dia di ancam?
"Sudah cukup, Dito!"
"Ap-"
“Jangan bicara padaku lagi! Kamu seram, sebaiknya dari awal kita tidak kenal. Dan sebaiknya kamu pergi dan jangan muncul lagi.”
Setelah kata-kata itu, Rasyi langsung pergi. Aku hanya diam mematung melihatnya pergi, mulutku tidak bisa mengeluarkan kata apapun. Di sisi sungai yang lain, Rasyi bertemu dengan Rafael dan teman-temannya. Mereka membicarakan sebuah janji. Kemudian Rafael dan temannya tertawa keras setelah mendengar perkataan Rasyi.
“Benar sudah, kan?” Tanya Rafael.
“Iya, jadi tolong jangan ganggu Dito lagi.”
“Oke, oke. Aku akan membiarkan kalian untuk ke depannya mulai sekarang.”
Saat berjalan pulang ke rumah, aku memegangi kepalaku dan berteriak. Aku kehilangan satu-satunya orang yang baik padaku. Aku akan sendiri lagi. Kata-kata yang di ucapkannya terus menggema di kepalaku sampai aku tiba rumah.
Keadaan rumah sangat sepi, lampu juga tidak menyala sama sekali. Mungkin semuanya masih ada diluar. Aku mulai masuk ke kamarku dan duduk tertunduk di balik pintu. Aku melihat sekitar kamar dan menyesalkan hal yang kulakukan. Aku berdiri dan melihat kertas kosong dengan gambar anak hewan dan induknya dan pulpen di meja aku terus menatapnya selama beberapa saat.
Sampai larut malam lampu rumah tidak dinyalakan. Semua tetangga menebak-nebak dan bergosip tentang ini. Ada yang menyebut mereka ribut lalu minggat, ada juga yang menyebut pulang kapmung. Tapi semua pemikiran itu hilang dan orang yang berkerumun itu segera bubar saat pemilik rumahnya datang.
“Kalau sudah pulang lampunya di nyalakan, dong, Dito! Dasar, kenapa anakku begini? Kenapa suamiku juga begini?” Sambil membuka pintu kamar, tapi orang yang dia tuju tidak ada di dalam. Dia mulai menyalakan lampunya satu persatu dan menyalakan televisi. Karena tidak ada jawaban, dia mulai membuka kamar anaknya dan menyalakan lampunya. Tapi anaknya tidak ada di dalam dan hanya ada sebuah kertas.
Kertas itu bertuliskan, “Ibu, maaf jika aku menjadi anakmu. Aku tidak bisa memilih siapa yang akan jadi ibuku. Maaf jika aku tidak bisa menjadi anak yang baik bagi ibu. Aku harap ibu dan ayah selalu sehat.”
Mata ibu mulai berkaca-kaca membacanya, namun itu baru kertas pertama, kemudian dia membaca kertas kedua nya.
“Ayah, aku sangat mengagumi ayah yang kuat, ayah bahkan bisa mengangkat gas berukuran besar sendirian. Menurutku itu sangat keren.
Ibu, aku sangat mengagumi ibu yang sangat pekerja keras demi kehidupan kita. Ibu rela selalu lembur demi penghasilan yang lebih besar.
Impianku sejak dulu adalah kita menjadi akrab dan berwisata di taman bunga. Kita bersantai sambil menatap langit bersama, tapi aku tidak bisa mengatakannya. Maaf. Tapi sekarang kalian tidak perlu memikirkan itu, kok. Kalian bisa menyimpan uangnya untuk yang lebih penting.”
Kemudian di kertas ke tiga,” Rasyi, terima kasih sudah menjadi temanku.”
Saat ibu selesai membaca surat itu, televisi menampilkan sebuah berita, “Ditemukan mayat seorang anak laki-laki berusia sekitar 17 tahun di sungai…” dan disaat itu juga air matanya mulai membasahi pipinya.
"Di... to"
Suaminya kemudian Kembali dalam keadaan mabuk, sang ibu melihatnya sambil menangis. Wajahnya sudah penuh dengan air mata. Suaminya yang kebingungan melihat ke televisi dan membaca deskripsi beritanya. Seakan tahu siapa itu, seketika tangannya mulai lemas, kakinya tidak mampu menahan tubuhnya lagi, dia hanya menatap berita di televisi itu.